Minggu, 22 Desember 2013

Tentang Babel

Dan berangkatlah mereka dari seluruh bumi dengan bahasa dan logat yang masih satu. Di tanah datar di daratan Sinear mereka menetap. Kemudian berkatalah mereka satu kepada yang lainnya :

"Ini tempat kita, mari kita buat batu bata dan membakarnya baik-baik, kita gunakan sebagai batu dan ter penyambungnya. Mari kita bangun kota bagi kita dengan menara yang puncaknya sampai ke langit."

"Nampaklah dari atas nanti, semua yang di bawah. Maka dengan begitu, apapun rencana kita, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. Mari kita mencari nama bagi kita dan menaklukkan segalanya."

----------

Itulah rencana mereka dan dengan bahasa yang satu itu, mereka bekerja. Penggali dan penebang mengambil bahan dari sumber-sumber terbaik. Para pekerja membuat bata dan ter yang tiada bandingan ketepatan ukuran-ukurannya. Isi tungku dan kuali para pembakar dan pengolah diatur jeli, memberi hasil yang terkuat. Dan lewat tangan para pembangun, dikumpulkanlah semuanya itu membentuk menara."

"Amat mudah bagi kita melanjutkan ini, membangun menara dan mendapat nama. Namun siapakah dari kita sesungguhnya yang pantas menempati puncaknya? Tidak cukup besar puncak menara untuk menampung kita semua. Seandainya kita berikan hak pada salah satu dari kita untuk menempati puncak itu, apa jaminannya mereka tidak berbohong tentang apa yang mereka lihat dan tidak mengambil nama untuk dirinya sendiri?"

----------

Ricuh dan riuh mereka mulai berdiskusi, para penggali dan penebang berkata :

"Ingatlah ketika kami menemukan sumber-sumber bahan terbaik. Dari kamilah, segala pekerjaan ini bermula, patutlah kami diberi hak akan puncak menara"

Demikian pula sahut para pekerja : "Bahan terbaik tidak akan berguna tanpa kami yang mengolahnya menjadi ukuran dan penyusunan, dan pemisahan yang menjadi keahlian kami. Puncak menara adalah milik kami"

Adapun para pembakar dan pengolah berkata : "Lewat tangan-tangan kami, bahan dan ukuran jadi berbuah, kami pisahkan mereka dari unsur-unsur tak berguna, lewat pembakaran dan pengolahan. Bukankah kami yang paling berhak?"

Namun, kata para pembangun : "Kami paling mengerti tiap lekuk menara. Tiap harinya kami gunakan semua yang telah kalian hasilkan untuk membentuk menara ini, dalam berbagai kondisi dan kebutuhannya. Kamilah yang menutup pekerjaan ini. Berikan kepada kami hak atas puncaknya."

----------

Tanpa henti mereka berdebat, perdebatan berkembang jadi pertengkaran, dan akhirnya jadi pertempuran. Yang satu menolak pendapat yang lain, dan menutup telinga atas mereka, menolak bicara tanpa curiga, kecuali lewat senjata.

Injak menginjak mereka satu sama lain dan kemudian pecahlah, satu persatu mereka tinggalkan kota yang sudah busuk oleh darah, dan menara yang baru setengah. Yang satu menjauhi yang lain, dan terpisah-pisahlah mereka dari satu logat dan satu bahasa.





Selasa, 17 Desember 2013

Tentang Adam dan Tentang Hawa

Awalnya adalah makhluk,
Tercipta setelah dunia, unggul dari semua.
Berbekal nafas, roh Maha Daya.
Beroleh hati serta nurani, semua yang ada ia namai,
berpasangan hidup berjalan, terjaga aman di dalam taman

Awalnya adalah makhluk,
sederhana saja, tak kurang apa.
Lalu mulailah bertanya-tanya, menebak-nebak, membuat makna.
Maka tertelanlah sang buah akal,
bersambut-sambutan jawab dan sangkal,
mencari-cari benar dan salah.

Dari sana pun muncullah sadar,
tak lagi sederhana apa yang wajar.
Karena yang didapat tak lagi sebatas butuh,
melebihi yang lain ternyata tak sesulit itu.
Mencari mereka kesana kemari,
jadilah akal lawan nurani.

----------

Pernah engkau lihat burung paksakan diri,
mencari makan tak henti-henti,
Tak pernah cukup tumpuk menumpuk?

Bukankah cuma kita yang tak pernah puas?
Terus menggali, bahkan menggilas.
Begitu serakah pada rezeki, padahal berlebih makanan gizi,
Setelah kenyang sulit berdiri, masih tak henti minta diberi.


Pernah engkau lihat rusa terburu-buru,
mengejar janji mengejar waktu,
tak peduli lagi pada sekitar?

Bukankah cuma kita yang tak pernah tumbuh?
Penuh ketakutan akan sang waktu,
tak pernah rela, ukur mengukur,
jadwal dan janji menjadi candu.


Pernah engkau lihat lembu bertengkar,
hanya karena merasa benar,
karena beradu cara mengunyah,
padahal sama rumput makannya?

Bukankah cuma kita yang terus bertempur?
Merasa pintar merasa benar,
mencari cara jadi terunggul,
sampaikan lupa hal yang mendasar.

----------

Awalnya adalah makhluk,
terusir lepas dari asalnya.
Beroleh akal untuk memimpin, malah terkutuk jadi yang lain.
Mencari makna kenapa berpikir,
mencari jalan kemana akhir.
Akal - nurani bertempur getir

Sabtu, 09 Maret 2013

Kisah 3 Guru

Dengarlah kisah 3 orang guru
Ketiganya benar, pembawa kabar
Ketiganya orang sadar

Guru pertama lahir di bawah,
tanpa hadiah dan tanpa harta.
Di bawah atap yang seadanya.
Ibu ayahnya tanpa bercela

Guru kedua lahir di tengah,
lebih kurang tidak mengapa.
Tanpa ayah dan tanpa ibu,
dewasa ia terlindung penjaga

Guru ketiga lahir di atas,
dalam istana layaknya surga
Pangeran dicinta, pangeran dimanja
Sang pangeran lalu terjaga

Yang tiga tumbuh sunyi, yang tiga mengawasi.
Yang tiga tergerak, yang tiga digerakkan,
Yang tiga menggerakkan.
Yang tiga menggigit, mengunyah, kemudian menelan.
Ketiganya memutuskan, dan jadilah mereka yang terutuskan.

----------
Guru pertama menapak kaki di tempat suci.
Dunianya tertelan tatanan, dan yang penting malah terlupakan
Begitu kokoh berlapis-lapisan, begitu yakin tentang segala
Rumah tua begitu megah, begitu tua rapuh tiangnya
Rumah tua rumah yang megah, begitu megah berat atapnya

Maka berserulah guru pertama, pada segenap orang percaya
Coba lihat buramnya terang, yakin kadang membutakan!
Bagi setiap celah diceritakannya, tentang ayah yang benar, anak yang gelisah
Saat mereka lalu bertanya, tentang apa yang utama,
diceritakannya mengenai cinta

----------
Guru kedua terjaga di medan perang
Pada dataran tanpa batasan, yang serang akan bertahan dan yang menang boleh dikenang
Tanpa tali dan tanpa kekang, bukan salah kuda jika menerjang
Sumur hitam di padang gersang, jauh dan dalam si dasar lubang
Sumur gersang di padang hitam, isinya noda darah hukuman

Maka bangunlah guru kedua, diangkat perisai pada bahunya.
Dibawa jalan balut lantunan, susunan kata tiada dua.
Jangan mengganggu dan jangan terganggu, karena milikmu bukan milikmu
Bila engkau butuh mengerti, kenali dirimu dalam kendali.

----------
Guru ketiga terpaku di halaman taman
Pada roda tanpa putaran, yang di bawah tetap di bawah
Pada gerak tanpa tujuan, yang terdepan mungkin terbelakang
Saat semua begitu percaya bahwa yang ada pasti berguna,
pangkal salahlah menyangkal darah

Maka pergilah guru ketiga, mencari jawab sebelum tanya
Sejuta petuah dan sejuta serapah, pada akhirnya cuma udara
Silangan kaki di pohon tua nyanyi dan nari bagi semesta
Saat yang ada ternyata tiada, yang diperlukan hanyalah rela

----------

Sesudah usai masa bicara,
Ketiga guru berbelas hati
Bagi yang mendengar lalu mengerti,
Sebarkanlah berita ini

Maka sebarlah mereka semua,
Ke bukit-bukit dan lembah-lembah
Hingga jaman lelah berubah
sampai maknanya tinggal lemah


Kamis, 08 Desember 2011

Rahasia

Tersebutlah pada suatu siang hari yang mendung, Gelontor berangkat kerja. Baru saja keluar ke depan rumah dengan motornya yang acak adut karena selalu lupa diservis, tiba-tiba muncul sang tetangga dengan anaknya yang baru kelas 5 SD.

"Mas, mau ke depan ya?"
"Iya Pak, mau kerja."
"Nitip anak saya dong, sampe depan aja. Sampe deket warung."
"Oh, oke. Nanti adek kasih tau aja ya kalo udah nyampe turunnya dimana."

(Anaknya naik ke motor dibantu bapaknya)

Alhasil, Gelontor pun berangkat bersama si anak.
"Mau berangkat ke sekolah ya?"
"Nggak om, mau ngaji. sekolahnya udah tadi pagi om, ada ulangan."
"Ooo, ulangan apa emg tadi? susah ga?"
"Susah banget om, cuma bisa jawab 2 soal, sisanya nebak-nebak aja."
"Waduh.."
"Eh om, berhenti disini aja, aku ngajinya di masjid situ."
"Oh, oke."
"Yang tadi jangan kasih tahu ke bapak ya om, rahasia."
"Oh gitu? Iya deh. Rahasia ya."

Si anak turun dan langsung ngeloyor pergi sambil mengucapkan terima kasih, Gelontor pun melanjutkan perjalanan sambil berpikir.

Cuma bisa jawab 2 soal, kalo soalnya 10 masih mending, kalo soalnya 100 gimana ceritanya...

Sabtu, 12 Februari 2011

Waktu Indonesia Barat part1

Lebaran 2008

"Mudik, Pak?"

Iya nih, akhirnya libur juga. Seharusnya saya udah bisa pulang dari 3 hari yang lalu, tapi malah ga bisa gara-gara kerjaan.

"Walah, emang kerja dimana Pak?"

Disini.

"Di kota ini maksudnya?"

Disini. Di bandara.

"Ooh, di bagian apa?"

Di bagian maintenance. Ngurusin landasan. Biasanya kerjaan saya yang gitu-gitu, ngebenerin kalo ada bagian jalur landasan yang rusak, jalur bahan bakar, ngurusin bagian tower juga.

"Ooh, kalo waktu-waktu liburan gini sibuk ya jadinya."

Iya. makanya itu saya baru bisa pulang sekarang. Padahal jatah liburnya udah dari 3 hari yang lalu.  
Tiba-tiba aja saya ga dibolehin pulang, saya juga ga enak sama yang lain kan kalo pulang duluan. Malah jadi lembur terus kalo lagi peak season gini.

"Hahaha, tapi kan lumayan Pak. Dapet jatah uang lembur.."

Wah, mending kalo dapet uang lembur, dek. THR saya aja masih belum dibayar. Udahnya kerjaan selalu ngelebihin jatah saya, uang lemburnya ga seberapa juga. Emang parah kok nih bandara kepengurusannya dari dulu. Kalo lagi ada masalah apa-apa juga kacau pembagian tugasnya. Kadang-kadang saya harus ngurusin masalah yang ga ada hubungannya sama sekali ma urusan saya. Ada penumpang yang ribut juga pernah malah saya yang ngurusin, kan aneh. THR karyawan juga tahun ini ga tahu kenapa telat turunnya. Kalo adek tahu ya (jelas-jelas saya gak tahu), nih bandara keamanannya juga ga karuan, jalur bahan bakar pesawat aja itu penjagaannya sama sekali gak ketat.. Dengan gampangnya orang bisa masuk. Kan serem juga dek, tinggal masuk aja trus sabotase, bisa abis ini satu bandara. Iya kan, kalo saya yang jadi penjahat, saya bisa aja ngelakuin yang bukan-bukan dengan gampangnya. Udah pernah saya ngasih saran begini begitu, eh malah saya dibilang terlalu cerewet. Emang orang Indonesia tuh suka ga ngerti prioritas.

- Cerita ini tidak dimaksudkan untuk memancing yang bukan-bukan ataupun menyebarkan informasi yang  berpotensi mengundang bahaya. Sekedar cerita ringan untuk dibaca sebelum tidur atau sewaktu senggang -

Jumat, 22 Oktober 2010

Gelontor


Angka kematian ibu dan bayi di negara ini masih tinggi.
Pada tahun 2009 diperkirakan 430 bayi mati tiap harinya. 
Nyatanya, negara ini masih menjadi juara Asia dalam bidang bayi mati.

Untung saja, Gelontor tidak termasuk dari 430 bayi kurang beruntung hari itu.
Hari itu, bulan anu, di tanggal 1 atau 3 dan di tahun berapa kalau tidak salah.
Tidak ada yang ingat tanggal lahir Gelontor, lantaran hilang akte kelahirannya akibat banjir.
Di keluarga Gelontor juga belum pernah ada tradisi merayakan ulang tahun.
"Lha, buat makan aja susah kok mau ngerayain ulang tahun," kata ibunya waktu ditanya.

 Tidak ada yang aneh dengan kelahiran Gelontor. Lahir dengan 2 tangan, 2 kaki, dan 20 jari sehingga memenuhi syarat disebut sehat.
Dokter dengan gagah ngomong ke orang tuanya "Selamat Bu, anaknya sehat."

Baru ketahuan setelah beberapa tahun Gelontor ternyata kurang sehat.
Kemampuan penciumannya di bawah rata-rata.
Ketahuannya juga, karena rasa penasaran si ibu setelah tanpa sengaja buang angin dengan tingkat aroma berlebihan di depan Gelontor.

4 tahun setelah Gelontor lahir, lahir juga adiknya yang perempuan.
2 tahun kemudian lahir lagi yang laki-laki.
Setelah beberapa tahun menganggur, si ibu melahirkan lagi anak yang ke-4, dilanjutkan yang ke-5, ke-6, dan akhirnya ditutup dengan yang ke-7, dan ke-8.
Berturut-turut yang lahir itu perempuan, laki-laki, perempuan, laki-laki, dan yang terakhir perempuan.

Keluarganya Gelontor memang keluarga besar, tapi selain itu tidak ada kelebihan yang lainnya.
Bapaknya laki-laki, ibunya perempuan, kakek nenek di kota lain, dan punya paman yang adik ibunya.

Di hari itu juga, waktu Gelontor lahir, kakek, nenek, bapak, ibu, dan pamannya ada di ruangan yang sama.


Di waktu itu, waktu Gelontor lahir di negara yang angka kematian bayinya tertinggi di Asia